Perdagangan
bebas
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang
mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau
hambatan perdagangan lainnya.
Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan
sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah)
dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang
berada di negara yang berbeda.
Perdagangan internasional sering dibatasi
oleh berbagai pajak
negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non
tarif pada barang impor. Secara teori, semuha
hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam
kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut
perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada
terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian
tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan
besar.
Pro-kontra
perdagangan bebas
Banyak ekonom yang berpendapat bahwa perdagangan bebas meningkatkan standar
hidup melalui teori keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat
bahwa perdagangan bebas memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara
berkembang dan merusak industri lokal, dan juga membatasi standar kerja dan
standar sosial.
Sebaliknya pula, perdagangan bebas juga dianggap merugikan negara maju
karena ia menyebabkan pekerjaan dari negara maju berpindah ke negara lain dan
juga menimbulkan perlombaan serendah mungkin yang menyebabkan standar hidup dan keamanan yang lebih rendah. Perdagangan
bebas dianggap mendorong negara-negara untuk bergantung satu sama lain, yang
berarti memperkecil kemungkinan perang.
Menggugat Mitos-mitos
Neoliberalisme
tentang
Pasar Bebas
Neoliberalisme sebagai perwujudan baru paham liberalisme saat ini dapat
dikatakan telah menguasai sistem perekonomian dunia. Seperti kita ketahui
bersama, paham liberalisme dipelopori oleh ekonom asal Inggris Adam Smith dalam
karyanya The Wealth of Nations (1776). Sistem ini sempat
menjadi dasar bagi ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dari
periode 1800-an hingga masa kejatuhannya pada periode krisis besar (Great
Depression) di tahun 1930. Sistem ekonomi yang menekankan pada penghapusan
intervensi pemerintah ini mengalami kegagalan untuk mengatasi krisis ekonomi
besar-besaran yang terjadi saat itu.
Selanjutnya sistem liberal digantikan oleh gagasan-gagasan dari John
Maynard Keynes yang digunakan oleh Presiden Roosevelt dalam kebijakan “New
Deal”. Kebijakan itu ternyata terbukti sukses karena mampu membawa negara
selamat dari bencana krisis ekonomi. Inti dari gagasannya menyebutkan tentang
penggunaan “full employment” yang dijabarkan sebagai besarnya peranan buruh
dalam pengembangan kapitalisme dan pentingnya peran serta pemerintah dan bank
sentral dalam menciptakan lapangan kerja. Kebijakan ini mampu menggeser paham
liberalisme untuk beberapa saat sampai munculnya kembali krisis kapitalisme
yang berakibat semakin berkurangnya tingkat profit dan menguatnya
perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Menguatnya kekuatan modal dan politik perusahaan-perusahaan transnasional
(TNC) yang banyak muncul di negara-negara maju makin meningkatkan tekanan untuk
mengurangi berbagai bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian karena hal
itu akan berpengaruh pada berkurangnya keuntungan yang mereka terima. Melalui
kebijakan politik negara-negara maju dan institusi moneter seperti IMF, Bank
Dunia dan WTO mereka mampu memaksakan penggunaan kembali paham liberalisme gaya
baru atau yang lebih dikenal dengan sebutan paham neo-liberalisme.
Secara garis besar Mansour Fakih (2003) menjelaskan pendirian paham
neoliberalisme:
pertama biarkan pasar bekerja tanpa distorsi (unregulated market is the
best way to increase economic growth), keyakinan ini berakibat bahwa perusahaan
swasta harus bebas dari intervensi pemerintah, apapun akibat sosial yang
dihasilkan.
Keyakinan kedua, kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara
yang tidak perlu seperti subsidi untuk pelayanan sosial seperti anggaran
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial lainnya.
Ketiga, perlu diterapkan deregulasi ekonomi, mereka percaya bahwa regulasi
selalu mengurangi keuntungan, termasuk regulasi mengenai AMDAL, keselamatan
kerja dan sebagainya.
Keempat, privatisasikan semua badan usaha negara. Privatisasi ini termasuk
juga perusahaan-perusahaan strategis yang melayaani kepentignan rakyat banyak
seperti PLN, Sekolah dan Rumah Sakit. Hal ini akan mengakibatkan konsentrasi
kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal
atas kebutuhan dasar mereka.
Kelima, masukkan gagasan seperti “barang-barang publik”, “gotong-royong”
serta berbagai keyakinan solidaritas sosial yang hidup di masyarakat ke dalam
peti es dan selanjutnya digantikan dengan gagasan “tanggung jawab individual”.
Masing-masing orang akan bertanggung jawab terhadap kebutuhan mereka sendiri-sendiri.
Golongan paling miskin di masyarakat akan menjadi korban gagasan ini karena
merekalah yang paling kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dalam rangka memantapkan kebijakan neo-liberalisme, para pendukungnya
secara gencar mengampanyekan mitos-mitos berkaitan dengan neo-liberalisme dan
lebih lanjut tentang pasar bebas. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mansour Fakih
(2003) bahwa mitos-mitos itu diantaranya adalah :
Pertama, perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak
akan terjadi. Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru
meningkatkan harga pangan.
Kedua, WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan
penggunaan pestisida secara berlebih dan pangan hasil rekayasa genetik justru
membahayakan kesehatan manusia dan juga keseimbangan ekologis.
Ketiga, kaum permpuan akan diuntungkan dengan pasar bebas pangan. Kenyataannya, perempuan petani semakin tersingkir baik sebagai produsen
maupun konsumen.
Keempat bahwa paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi
dan pengetahuan. Kenyataannya, paten justru memperlambat alih teknologi dan
membuat teknologi menjadi mahal.
Kelima, perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen
karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam
ketahanan pangan di negara-negara dunia ketiga.
Akibat dari gagasan-gagasan yang selanjutnya diterapkan menjadi kebijakan
ini dapat kita perhatikan pada kehidupan di negeri ini.
Bagaimana rakyat menjerit akibat kenaikan harga-harga seiring dengan
ketetapan pemerintah mencabut subsidi BBM. PHK massal mewabah karena efisiensi
perusahaan akibat meningkatnya beban biaya produksi. Mahalnya harga obat karena
paten dan hak cipta yang membuat rakyat makin sulit mendapatkannya. Mahalnya
biaya perawatan rumah sakit karena swastanisasi. Makin tercekiknya
kesejahteraan petani akibat kebijakan impor beras dan diperburuk dengan
mahalnya harga pupuk dan obat-obatan pembasmi hama. Masih banyak contoh yang
dapat kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita.
Akibat dalam skala lebih luas menurut Yanuar Nugroho (2005) ternyata
perekonomian dunia saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup 800 juta dari
6.5 miliar manusia. Itupun ia sudah mengonsumsi 80 persen dari semua sumber
daya bumi yang tersedia. Jika cara ini diteruskan, sumber daya bumi ini akan
segera terkuras habis.
Globalisasi dan pasar bebas memang membawa kesejahteraan dan pertumbuhan, namun hanya bagi segelintir
orang karena sebagian besar dunia ini tetap menderita.
Ketika budaya lokal makin hilang akibat gaya hidup global, tiga perempat
penghuni bumi ini harus hidup dengan kurang dari dua dollar sehari. Satu miliar
orang harus tidur sembari kelaparan setiap malam. Satu setengah miliar penduduk
bola dunia ini tidak bisa mendapatkan segelas air bersih setiap hari. Satu ibu
mati saat melahirkan setiap menit.
Belum terlambat bagi kita untuk menyadari semua permasalahan ini.
Perlawanan di seluruh dunia sudah mulai berlangsung. Mereka sudah tidak percaya
lagi dengan mitos-mitos yang dihembuskan kaum neo-liberal tentang pasar bebas.
Ketiga institusi keuangan dunia yang dianggap sebagai alat kaum neo-liberal
terus menerus ditekan. Ketiganya yaitu WTO, IMF dan Bank Dunia selalu mendapat
demonstrasai besar-besaran di setiap pertemuan yang dilakukan.
Perlawanan dalam skala besar pertama berlangsung pada pertemua WTO di
Seattle, AS. Berbagai gerakan sosial dari penjuru dunia berbondong-bondong
memadati kota Seattle. Mereka melakukan demo besar-besaran untuk menghentikan
pertemuan tersebut. Mereka berasal dari berbagai kalangan seperti kelompok
lingkungan, kelompok perempuan, aktivis buruh, petani dan berbagai kelompok
sosialis. Maraknya aksi yang mereka lakukan membuat pertemuan itu gagal
menyelesaikan agenda yang seharusnya dibahas.
Perlawanan selanjutnya terus menerus berlangsung mengiringi setiap
pertemuan WTO. Demo juga kerap kali berlangsung di depan kantor Bank Dunia dan
IMF. Bahkan yang paling fenomenal adalah tewasnya seorang petani asal Korea
Selatan yang menghunjamkan tubuhnya pada barikade pasukan anti huru-hara pada
pertemuan WTO di Cancun, Meksiko (Jhamtani,2005). Pertemuan WTO di Hongkong
baru-baru ini juga mengundang aksi demonstrasi yang tak kalah besarnya.
Pada akhirnya karena situasi ekonomi global yang dikuasai paham neo-liberalisme
saat ini ternyata penuh dengan mitos-mitos palsu, kita harus lebih bisa
bersikap kritis terhadapnya. Dengan penguasaan teknologi informasi dan jaringan
media global oleh perusahaan perusahaan raksasa internasional, akan mudah
sekali bagi mereka untuk menyusupkan kembali mitos-mitos tersebut di benak
kita. Untuk itu diperlukan kewaspadaan lebih dan sikap kritis yang didukung
dengan informasi yang kaya.
0 komentar:
Posting Komentar