Persyaratan dan tata tertib Festival Ramadhan 1434 H Remaja Mujahidin Kal-Bar


FESTIVAL DA’I DAN DA’IAH
Festival da’I dan da’iah ini berupa lomba ceramah agama Islam yang bertema Ramadhan Bulan Rahmatan Lil ’Alamin. Kegiatan ini diikuti oleh pelajar SMA/MA sederajat se-Kota Pontianak.
Berikut syarat dan ketentuan:
  1. Peserta merupakan utusan sekolah SMA/MA sederajat
  2. Setiap sekolah dapat mengirimkan utusan maksimal sebanyak 4 orang putra & putri
  3. Mangisi formulir pendaftaran.
  4. Melunasi biaya pendaftaran Rp. 10.000 per peserta.
  5. Peserta menggunakan pakaian yang sesuai dengan syariat islam.
  6. peserta dapat membawakan ceramah dengan tema “Ramadhan Bulan Rahmatan Lil ’Alamin”.
  7. Penilaian meliputi muatan isi, retorika dan adab.
  8. Durasi lomba 7 - 10 menit.
  9. Materi ceramah diketik rangkap 3 dan diserahkan pada panitia  sebelum lomba dimulai.
  10. Hal-hal lain yang belum disebutkan akan disampaikan saat Teknikal Meeting.
11.   Melakukan Konfirmasi pendaftaran dengan mengirim sms dengan format FD_JUMLAH UTUSAN_UTUSAN kirim ke 089697195057.
  1. Pendaftaran tanggal 13 Juli-25 Juli 2013 pukul 07.00 – 17.00 WIB di sekretariat panitia.(Penyerahan Formulir)
  2. Teknikal Meeting (TM) tanggal 25 Juli 2013 pukul 13.00 – selesai di Menara Masjid Raya Mujahidin Lt.Dasar.(WAJIB HADIR)
  3. Pelaksanaan Kegiatan: Hari :Jum’at-Sabtu/26-27 Juli 2013 Jam 08.00-Selesai di Masjid Raya Mujahidin.
  4. Untuk Informasi dapat menghubungi CP.
LOMBA ADZAN SUBUH
A.    Peserta
1.      peserta merupakan pelajar SMA/MA sederajat se-Kota Pontianak.
2.      Setiap sekolah dapat mengirimkan utusan maksimal sebanyak 3 orang.
B.     Persyaratan Teknis
1.      Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.10.000 per peserta
2.      Mampu melafadzkan adzan dengan baik
C.     Kriteria Penilaian
1.      kelancaran bacaan
2.      kefasihan dalam beradzan subuh
3.      ketepatan makhrojul huruf dan sifatul huruf
4.      Nada Adzan
D.    Pendaftaran
1.      Pendaftaran dimulai tanggal 15-26 Juli 2013 pukul 21.00 wib
2.      Peserta dapat mendaftar secara langsung di Sekretariat Remaja Mujahidin : Lantai 2 Gedung Islamic Center, Komplek Masjid Raya Mujahidin Kal-Bar. atau dapat melalui SMS dengan mengetik format #ADZAN_RM_NAMA PESERTA_UTUSAN_NO HP# kirim ke : 089697195057 ( M.Al-Iqbal/ Sekretaris Panitia ), 085750275199 ( Abdul Rahim/ Ketua Panitia )
TEKHNIKAL MEETING ( TM) Tanggal 26 Juli 2013 Jam 13.00
E.     Pelaksanaan Lomba
Kegiatan ini insyaAllah akan dilaksaksanakan pada :
1.      Hari/ tanggal         : Minggu/ 28 Juli 2013
2.      Waktu                   : 08.00 – selesai
3.      Tempat                  : Masjid Raya Mujahidin Kalbar



  • BINCANG-BINCANG SEPUTAR MUSLIMAH
  • Kegiatan ini insyaAllah akan dilaksaksanakan pada :
    1.      Hari/ tanggal         : Minggu/ 28 Juli 2013
    2.      Waktu                   : 08.00 – selesai
    3.      Tempat                  : Gedung Islamic Center Mujahidin
    Peserta Umum dan gratissss
  • LOMBA KREASI JILBAB MUSLIMAH
A.    Peserta
1.      peserta merupakan pelajar putri SMA/MA sederajat se-Kota Pontianak.
2.      Setiap sekolah dapat mengirimkan utusan maksimal sebanyak 2 tim ( 1 tim terdiri dari 2 orang akhwat yang bertindak sebagai perias dan model )
B.     Persyaratan Teknis
1.      Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.10.000 per tim
2.      membawa sendiri jilbab dan perlengkapan ( peniti, bros,jarum pentul dll)
3.      Panitia hanya menyediakan kursi untuk bekerja.
4.      jenis jilbab dan jumlahnya bebas, namun tetap harus menggambarkan tema spesifik yang dibuat oleh tim, missal : jilbab untuk touring dan sebagainya.
5.      peserta wajib mengenakan busana muslimah yang syar’i.
C.     Kriteria Penilaian
1.      Jilbab Syar’I ( menutup dada dan tidak menampakkan rambut ( tidak transparan ), telinga, leher dan lain-lain yang seharusnya ditutupi)
2.      Tidak menonjolkan sisi bagian rambut ( sanggul/punukunta)
3.      Keputusan Juri tidak dapat diganggu gugat.
D.    Pendaftaran
1.      Pendaftaran dimulai tanggal 15-26 Juli 2013 pukul 21.00 wib
2.      Peserta dapat mendaftar secara langsung di Sekretariat Remaja Mujahidin : Lantai 2 Gedung Islamic Center, Komplek Masjid Raya Mujahidin Kal-Bar. atau dapat melalui SMS dengan mengetik format #JM_RM_NAMA PESERTA_UTUSAN_NO HP# kirim ke : 089697195057 ( M.Al-Iqbal/ Sekretaris Panitia ), 085750275199 ( Abdul Rahim/ Ketua Panitia )
TEKHNIKAL MEETING ( TM) Tanggal 26 Juli 2013 Jam 13.00
E.     Pelaksanaan Lomba
Kegiatan ini insyaAllah akan dilaksaksanakan pada :
4.      Hari/ tanggal         : Minggu/ 28 Juli 2013
5.      Waktu                   : 08.00 – selesai

6.      Tempat                  : Gedung Islamic Center, Komplek Masjid raya Mujahidin kal-Bar.

Hukum Islam

Etika Menjadi Majikan

Etika Menjadi Majikan
di publikasi ulang oleh Anggun Arianto
Mukaddimah
Maraknya kasus penyiksaan terhadap para tenaga kerja kita di dalam maupun luar negeri, secara khusus yang bekerja di luar negeri akibat ulah para majikan yang tidak bertanggung jawab perlu pula menjadi perhatian kita secara serius. Sebab, banyak umat Islam yang terlibat di dalamnya baik sebagai pihak yang mempekerjakan ataupun dipekerjakan.

Kami tidak ingin menyoroti permasalahan itu secara lebih spesifik dan tidak pula memasuki wilayah lain, yaitu tentang hukum nakerwan-nya yang bepergian untuk bekerja di luar negeri sana tanpa mahram sebab hal ini sudah sama-sama dimaklumi pada dasarnya.

Dalam kajian ini, sedikit sumbangsih pemikiran mengenai bagaimana permasalahan seperti itu sebenarnya menurut nash-nash Islam, dalam hal ini hadits Rasulullah.

Rasulullah adalah suri teladan kita, karena itu sebenarnya kejadian-kejadian seperti itu tidak akan pernah terjadi oleh para majikan (pihak yang mempekerjakan yang beragama Islam) bilamana mereka mengetahui ajaran agama dengan baik, khususnya terkait dengan hal itu.

Untuk itulah, dalam kajian ini, kami ketengahkan sedikit hadits dan bahasan singkat mengenainya, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan menjadi amal jariah penulis. Wallahu a’lam…

Naskah Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا أَتىَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ . متفق عليه واللفظ للبخاري


Dari Abu Hurairah RA., dari Nabi SAW., (beliau bersabda), “Jika pelayan salah seorang di antara kamu membawakan makanan untuknya; maka jika tidak mengajaknya duduk bersamanya, cukup memberinya satu suap atau dua suap.” (Hadits ini disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, dan lafazh ini berasal dari shahih al-Bukhari)

Penjelasan Global

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Turmudzy dan Abu Daud dengan redaksi yang tidak berbeda jauh.

Imam al-Bukhari memuat hadits ini di dalam bab: “Bila pelayan salah seorang di antara kamu membawakan makanan untuknya.”

Sedangkan Imam Muslim memuatnya di dalam bab: “Memberi makan hamba (sekarang: pelayan)” dengan lafazh, “Bila pelayan salah seorang di antara kamu membuatkan makanan untuknya, kemudian dia membawanya padahal ia sudah merasakan panas dan asapnya; maka hendaklah dia mengajaknya duduk bersamanya, lalu makan. Jika makanannya sedikit, maka hendaklah dia menaruh di tangannya (pelayan) satu suap atau dua suap.”

Di dalam bab itu juga terdapat hadits-hadits lain yang bernuansa sama dengan hal itu, yakni perlakuan seorang tuan terhadap pembantunya (dulu budak). Dalam hal ini, beliau (Imam Muslim) memuat juga hadits mengenai Abu Dzarr yang membalas umpatan seseorang -yang kebetulan seorang budak- terhadapnya dengan mengumpati juga kedua orangtuanya di mana ibunya adalah seorang wanita asing. Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW., beliau mencela dan mengecam tindakan Abu Dzarr ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya, engkau ini seorang yang masih memiliki fanatisme Jahiliyyah.”

Di antaranya lagi, hadits yang berbunyi, “Seorang budak memiliki (hak) makan dan pakaian, dan hendaknya dia tidak dibebani suatu pekerjaan kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

Imam at-Turmudziy juga memuat hadits mengenai hal ini di dalam kitabnya Sunan at-Turmudzy dengan lafazh yang tidak jauh berbeda dengan riwayat Imam Muslim. Di dalam bab: “Hadits-hadits mengenai makan bersama budak dan keluarga.” Di dalamnya terdapat tambahan,- setelah kalimat, maka hendaklah dia mengajaknya duduk bersamanya, yaitu bila dia menolak, maka …”

Mengenai makna “sesuap atau dua suap…” Ibn Hajar berkata –sebagai dinukil oleh pengarang buku “Tuhfah al-Ahwadziy”-, “kata penghubung “atau” maksudnya adalah pembagiannya, yaitu disesuaikan dengan kondisi makanan dan pembantunya.” (artinya, bila makanannya banyak maka dikasih banyak, demikian juga, bila pembantunya banyak makan, maka dikasih lebih banyak-red.,)

Pengarang buku tersebut juga mengatakan, “Di dalam hadits riwayat Imam Muslim terdapat persyaratan, yaitu bilamana makanan (yang diberikan kepada majikan-red.,) itu hanya sedikit…artinya, bilamana makanannya banyak; maka si majikan itu boleh mengajaknya duduk bersamanya (untuk makan) atau memberikannya bagian yang lebih banyak.”

Beberapa Pesan Hadits

Di antara pesan hadits tersebut:
1. Anjuran agar berakhlaq mulia dan saling mengajak (mengundang) di dalam urusan makanan apalagi terhadap orang yang membuat atau membawanya sebab dia merasakan panas dan asapnya, bernafsu juga terhadapnya serta mencium baunya. Hal ini semua (hadits terkait dengan itu) hukumnya dianjurkan.

2. Di antara petunjuk Islam adalah persamaan hak antara si kaya dan si miskin, si kuat dan lemah, si terhina dan bermartabat sehingga tidak boleh ada kelas-kelas ataupun rasialisme. Semua orang beriman pada prinsipnya adalah bersaudara.

3. Islam menganjurkan akhlaq mulia seperti itu agar masyarakat Islam menjadi satu kesatuan umat, adapun kemudian terkait dengan masalah pekerjaan dan bakat, maka semua itu tergantung kepada anugerah yang telah diberikan Allah kepada masing-masing. Pekerja kecil bila dia telah menjalankan pekerjaannya, maka sama seperti pekerja besar. Jadi, masing-masing saling melengkapi.

4. Sebaiknya, tuan rumah mengajak makan pembantu, budak dan tamu-tamu kecilnya bersama-sama. Karena itu, tidak boleh dia merasa lebih tinggi derajatnya dan sombong dengan tidak mau makan atau bergaul bersama mereka. Hendaklah hal itu dilakukan dengan jiwa yang suci dan rasa malu yang tinggi. (Ahs)


REFERENSI:

- Shahih al-Bukhariy
- Shahih Muslim dan Syarahnya, Syarh an-Nawawy
- Sunan at-Turmudziy dan syarahnya, Tuhfah al-Ahwadziy
- Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm karya Syaikh. ‘Abdullah al-Bassâm

Etika Memakai Sandal Dan Sepatu

Etika Memakai Sandal Dan Sepatu


Mukaddimah

Islam adalah satu-satunya agama yang banyak sekali memperhatikan aspek akhlaq dan etika, dari hal yang sebesar-besarnya hingga sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, pantaslah pula apa yang dikatakan 'Aisyah radliyallâhu 'anha ketika ditanya tentang akhlaq Rasulullah bahwa akhlaq beliau adalah al-Qur'an.

Bila kita mengamati kandungan al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi, maka sangat sulit kita untuk tidak mengatakan bahwa di dalamnya selalu terkait dengan akhlaq dan etika itu.
Salah satu hal yang nampaknya sepele tetapi besar artinya yang diberikan perhatian oleh Islam adalah masalah etika memakai sandal atau sepatu.
Nah, apa urgensinya? Bagaimana etikanya?…Pada kajian kali ini, kita akan membahasnya, Insya Allah.


Naskah Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِيْنِ, وَإِذَا انْتَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ, لِتَكُنِ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ, وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ. رواه البخاري
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Bila salah seorang diantara kamu memakai sandal, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kanan dan bila dia melepasnya, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kiri. Jadikanlah kaki kanan yang pertama dari keduanya dipakai dan yang terakhir dari keduanya yang dilepas (dicopot)." (HR.Bukhari)


Kandungan Hadits
  • Terdapat hadits yang diriwayatkan 'Aisyah di dalam kitab ash-Shahîhain bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sangat suka menganan (memakai dengan memulai yang kanan), baik ketika memakai sandal atau sepatu (atau sandal dan yang semaknanya), menyisir, bersuci dan seluruh urusannya. Beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam senantiasa memulai dengan kanan dan mendahulukannya terhadap sesuatu yang baik dan mengakhirkannya terhadap yang selain itu. bila memakai sandal, beliau mendahulukan kaki kanan; bila memakai pakaian, beliau mendahulukan sebelah kanan dan bila masuk masjid, beliau mendahulukan kaki kanan. 
    Beliau mendahulukan yang kiri untuk selain hal itu; ketika masuk WC, keluar dari Masjid, melepas kedua sandal, pakaian dan semisalnya. 

  • Beliau mengkhususkan yang kanan di dalam makan, minum, berjabat tangan dan mengambil sesuatu yang baik. Dan beliau mengkhususkan yang kiri terhadap kotoran dan sesuatu yang tidak disukai. Inilah sunnah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang beliau sukai dan senang melakukannya. 

  • Di dalam masalah thaharah (bersuci), beliau mendahulukan untuk mencuci tangan kanan dan kaki kanan. Ketika mencukur di dalam manasik haji, beliau mendahulukan bagian sebelah kanan dari kepalanya atas bagian kirinya, demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam. 

  • Menurut syari'at, akal dan estetika bahwa mendahulukan yang kanan terhadap sesuatu yang baik dan mengkhususkannya serta mengkhususkan yang kiri terhadap sesuatu yang tidak disukai adalah lebih utama. Oleh karena itu, kaidah syari'at yang kemudian diambil dari sunnah beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam adalah mendahulukan yang kanan terhadap setiap sesuatu yang pernah beliau lakukan dalam rangka memuliakan beliau dan yang selain itu, dianjurkan untuk memulainya dengan yang kiri. 

  • Ibn al-'Arabi (bukan Ibn 'Arabi, tokoh Sufi yang sesat-red.,) berkata, "Memulai dengan yang kanan disyari'atkan terhadap semua amal shalih karena keutamaannya secara estetika lebih kuat dan secara syari'at lebih dianjurkan untuk mendahulukannya." 

  • al-Hulaimi berkata, "Sesungguhnya memulai dengan yang kiri ketika melepas (sandal atau sepatu-red.,) karena memakai itu adalah suatu kehormatan dan juga karena ia (dalam posisi) menjaga (melindungi). Manakala yang kanan lebih mulia dan terhormat daripada yang kiri, maka dimulailah dengannya ketika memakai dan dikemudiankan ketika melepas (mencopot) sehingga kehormatannya tetap ada dan jatahnya dari hal itu lebih banyak."
(SUMBER: Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh.'Abdullah al-Bassam, jld.VI, h.233-234)

Adab Buang Hajat 2/2


Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]



Pertanyaan.
Sebutkan benda apa saja yang tidak boleh dipergunakan untuk ber-istijmar dan sertakan dalilnya!

Jawaban.
Haram bersuci dengan tulang, kotoran binatang, makanan, dan segala sesuatu yang dimuliakan. Dalilnya adalah hadits berikut.

Hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasuulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang bersuci dengan tulang atau kotoran binatang” [Hadist Riwayat Ahmad III/336,343, 384. Muslim no. 263, Abu Daud no. 38]

Hadits dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk bersuci dengan tidak kurang dari tiga batu, tanpa memakai kotoran binatang dan tulang” [Hadits Riwayat Ahmad V/437, 438, Ibnu Majah no. 316. Dan lihat Shahih Muslim no. 262]

Dan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang beristinja dengan kotoran binatang atau tulang. Beliau bersabda. ‘Sesungguhnya kedua-duanya tidak bisa mencucikan” [Hadits Riwayat Ad-Daruquthni no. 9, beliau berkata, ‘Sanadnya Shahih]

Adapun dalil tentang pengharaman istijmar dengan sesuatu yang dimuliakan seperti buku-buku fiqih atau hadits adalah karena perbuatan menggunakan kertas yang berisi tulisan tentang fiqih atau hadits untuk istijmar itu termasuk penghinaan dan pelecehan syariat. Oleh karena itu, keharamannya lebih utama dibandingkan dengan keharaman memakai kotoran binatang atau tulang.

Adapun dalil tentang pengharaman bersuci dengan memakai makanan adalah hadits riwayat Muslim [1] dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian bersitinja’ dengan memakai kotoran binatang atau dengan tulang karena sesungguhnya tulang itu makanan saudara kamu dari kalangan jin”

Dari hadits ini bisa diambil kesimpulan bahwa keharaman ber-istijmar menggunakan makanan kita (manusia) itu lebih utama daripada keharaman menggunakan makanan jin (tulang).


Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya mencukupkan diri hanya menggunakan salah satu dari dua cara ber-istinja, yaitu hanya menggunakan air saja atau hanya dengan batu saja (ber-istijmar) ? Bagaimana pula kalau kedua-duanya dilakukan ?

Jawaban.
Boleh mencukupkan diri hanya menggunakan salah satu dari kedua cara tersebut. Akan tetapi, bersitinja dengan mengunakan air itu lebih utama. Dan seandainya kedua cara itu dilakukan bersamaan, yaitu disamping mengunakan air juga menggunakan batu, maka itu lebih utama daripada menggunakan air saja. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Ayat berikut ini turun dimaksudkan kepada penduduk Quba, “Di dalam (masjid Quba) ada orang-orang yang suka bersuci (dengan menggunakan air) dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci (dengan menggunakan air)”. Rasulullah bersabda, “Mereka (penduduk Quba) beristinja dengan menggunakan air ; maka ayat ini turun dimaksudkan untuk mereka”[Hadits Riwayat Abu Daud no.43, At-Tirmidzi no. 3100, Ibnu Majah no. 357. Lihat Shahih Abu Daud I/11 no.34 dan Shahih Ibnu Majah I/63 no. 268]

Al-Bazzar juga telah meriwayatkan hadits ini di dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafal.

“Artinya : Ayat berikut ini turun dimaksudkan kepada penduduk Quba, “Di dalam (masjid Quba) ada orang-orang yang suka bersuci (dengan menggunakan air) dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci (dengan menggunakan air)”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepada mereka, mereka menjawab, “Kami (dalam bersuci dari buang air) menggunakan batu terlebih dahulu kemudian setelah itu baru menggunakan air”[2]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]
_________
Foote Note.
[1] Hadits no. 450. Dan lihat Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim no. 966
[2] Kami belum menemukannya dalam Musnad Al-Bazzar. Namun Al-Haitsami telah menyebutkannya dalam Majam Az-Zawaid I/212, lalu beliau (Al-Haitsami) mengatajan bahwa dalam sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Abdul Aziz bin Umar Az-Zuhri yang didhaifkan (dilemahkan) oleh Bukhari, An-Nasa’i dan yang lain. Lihat pula Tamamul Minnah hal.65





Adab Buang Hajat 1/2

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
Publikasi Ulang oleh Anggun Arianto


Pertanyaan.
Tolong jelaskan hukum menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat berserta dalilnya. Jelaskan pula tentang perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini dan mana yang benar (rajih) ?


Jawaban.
Ada dua pendapat mengenai masalah ini.


Pendapat Pertama.
Menyatakan keharamannya, baik dilakukan di dalam bangunan (WC) ataupun diluar bangunan , berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian duduk untuk buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya” [Hadits Riwayat Muslim no. 265 dan ini lafalnya, dan Ahmad V/414,417, 421]

Begitu pula hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Apabila kalian datang ke tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat besar atau kecil, tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat..” [1]

Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu berkata, “(Ketika) kami sampai di Syam lalu kami mendapati WC-WC di sana di bangun dengan posisi menghadap Ka’bah, maka kami pun menyerongkan posisi duduk dan kami pun beristighfar (mohon ampun) kepada Allah” [Bukhari no. 386 dan Muslim no 264]

Muslim no. 262 meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh-sungguh telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat besar dan kecil”.


Pendapat Kedua.
Menyatakan bahwa harus dibedakan antara buang hajat di dalam bangunan (WC) dengan di tempat yang terbuka. Diharamkan menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat di tempat terbuka dan dibolehkan ketika berada di dalam bangunan (WC) berdasarkan hadits berikut.

Hadits Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Pada suatu hari aku naik ke atas rumah Hafshah lalu terlihat olehku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat dengan menghadap ke Syam dan membelakangi Ka’bah” [Hadits Riwayat Jama’ah] [2]

Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kencing menghadap kiblat, akan tetapi setahun sebelum beliau wafat aku melihat beliau kencing menghadap kiblat” [Hadits Riwayat Lima kecuali Nasa’i] [3]

Dan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Disampaikan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada sebagian orang (sahabat) tidak suka menghadapkan kemaluan mereka ke arah kiblat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Atau banar-benara mereka telah melakukan hal itu. Maka ubahlah tempat duduk-ku (di WC) dengan menghadap kiblat” [Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah] [4]

Begitu pula hadits dari Marwan Al-Ashfar, dia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu menderumkan (mendudukkan) untanya menghadap kiblat lalu beliau kencing sedang beliau juga menghadap kiblat, maka aku bertanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal itu ?’ Beliau menjawab, ‘Memang betul, tetapi beliau melarang hal itu (dilakukan) di tanah yang lapang. Kalau di antara kamu dan kiblat itu ada sesuatu yang menutupi, maka tidak mengapa” [Hadist Riwayat Abu Daud no 11. Lihat Shahih Abu Daud no.8]

Adapun pendapat yang rajih (benar) menurut saya (Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman) adalah mengamalkan hadits Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu karena itu yang lebih berhati-hati, yaitu menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat besar atau kecil di dalam bangunan atau di luar bangunan (tempat terbuka) adalah haram.

[Pendapat in juga telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Al-Qayyim menjelasakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (buang hajat dengan menghadap kiblat) adalah merupakan kekhususan beliau. Disamping itu, ada kaidah yang berbunyi, “Apabila bertentangan antara ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perbuatan beliau, maka yang didahulukan adalah ucapannya”. Contoh yang lain adalah beliau membatasi umatnya menikah tidak boleh lebih dari empat (yaitu lewat ucapannya), padahal beliau sendiri menikah dengan sembilan wanita (dan ini adalah perbuatannya), maka yang didahulukan adalah ucapannya]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]
_________
Foote Note.
[1] Di Indonesia, menghadap ke Utara dan Selatan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini di Madinah yang kiblatnya (Ka’bah) ada di arah Selatan, -Red
[2] Bukhari no. 147 dan 2935, Muslim no.266, Abu Daud no.12, At-Tirmidzi no.11, An-Nasa’i no. 23, Ibnu Majah no. 322, Ahmad II/12,13, Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 456 dan Ad-Darimi I/179
[3] Ahmad II/360, Abu Daud no.13 At-Tirmidzi no.9 dan Ibnu Majah no 324. Lihat Shahih Abu Daud no. 10 dan Shahih Ibnu Majah no. 261
[4] Ahmad VI/219,227, Ibnu Majah no.324, Lihat Dha’if Ibnu Majah no. 68 dan Adh-Dhaifah no.947





Ekonomi syariah